Siapa yang pernah menyangka jika tahun 2020 akan menjadi tahun penuh kehilangan. Di tahun ini, begitu banyak orang kehilangan pekerjaan, bahkan kehilangan orang yang mereka cintai. Alasannya adalah karena pandemi COVID-19. Kebijakan karantina — yang diharapkan dapat menekan tingkat penyebaran pandemi tersebut — pun telah diberlakukan di berbagai negara. Namun ternyata, tidak semua orang mampu mengadaptasikan diri ke kebijakan tersebut dengan mudah. Beberapa orang mungkin akan merasa terisolasi, frustasi, tidak berdaya, lelah secara emosional, hingga stres. Kondisi tersebut tentunya tidak akan berbuah baik kepada kesehatan mental diri.
Bagiku — dan mungkin beberapa orang lainnya — menjalani periode yang penuh akan ketidakpastian seperti ini bukanlah proses yang mudah. Seiring dengan berjalannya karantina, beberapa orang mungkin akan merasa ‘jauh’ secara emosional. Bahkan, kehadiran media sosial sebagai media komunikasi tidak semerta-merta menjadi sebuah solusi, terutama bagi mereka yang selalu mengandalkan interaksi sosial tatap muka untuk merasa terhubung. Namun, pada kenyataannya, situasi yang sangat disayangkan ini kemungkinan akan berjalan dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, kita hanya perlu menemukan cara untuk mengatasi dampak-dampak negatifnya, terutama yang berpotensi mempengaruhi kesehatan mental kita. Tentu, setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk mengatasi permasalahan tersebut dan di dalam artikel ini, aku akan membagikan bagaimana caraku menjaga kesehatan mental dikala karantina.
Hal pertama yang telah aku pelajari adalah pentingnya menghargai proses dan kapabilitas diri. Tanpa disadari, karantina membuat beberapa dari kita, termasuk diriku sendiri, mulai membandingkan pencapaian dan kapabilitas diri dengan pencapaian dan kapabilitas milik orang lain. Media sosial, sebagai salah satu media utama untuk ‘menengok’ kehidupan orang lain, merupakan penyebab utama munculnya permasalahan tersebut. Disaat kita merasa kesepian dan terisolasi, Instagram akan menunjukkan seberapa produktif teman-teman kita. Perilaku membanding-bandingkan ini, apabila dilakukan secara terus menerus, hanya akan menimbulkan rasa iri dan pada akhirnya mampu menyebabkan depresi. Dan setelah menyadari bahwa kebiasaan ini dapat membahayakan kesehatan mental, aku pun memutuskan untuk menaruh fokus kepada apa yang sudah kumiliki dan tidak menjadikan apa yang orang lain miliki sebagai sebuah target. Berkat realisasi tersebut, aku menjadi lebih nyaman untuk berproses secara mandiri — tanpa harus mengkhawatirkan orang lain sepanjang waktu — dan telah tumbuh menjadi pribadi dengan pola pikir yang jauh lebih sehat.
Disamping menghargai proses dan kapabilitas diri, aku juga mempelajari pentingnya menikmati waktu rehat di kala karantina. Seperti yang kita tahu bahwa untuk menjaga kesehatan mental, kita juga harus menjaga kesehatan fisik karena kedua hal tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Dengan fleksibilitas yang tersedia saat ini, kita dapat dengan mudah mengatur waktu kerja dan waktu istirahat. Di suatu kesempatan kita bisa memaksimalkan produktivitas, sedangkan di kesempatan lainnya kita bisa mengambil libur sehari penuh. Aku pribadi pernah menghabiskan beberapa hari hanya untuk menonton acara Netflix favoritku. Bahkan, terkadang, aku hanya menghabiskan sebagian besar waktu akhir pekan dengan beristirahat di kasur serta bercengkrama bersama keluarga di rumah and that is totally okay.
Dari kedua penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa secara garis besar karantina telah mengajariku bagaimana cara menjadi diri yang lebih mawas. Aku harus menjadi kuat untuk diriku sendiri, meskipun rasanya dunia sedang tidak baik-baik saja. Di akhir hari, aku hanya perlu yakin bahwa “kebahagiaan serta kesehatanku adalah hal yang terpenting” dan kuharap kalian juga memegang keyakinan yang sama. Tetapi, apabila salah satu dari kalian merasa karantina ini begitu berat untuk dilalui sendirian, jangan pernah merasa ragu untuk menghubungi orang yang kalian percaya atau pihak-pihak profesional karena pada dasarnya, we’re all in this together.
DAFTAR PUSTAKA
Appel, H., Gerlach, A. L., Crusius, J. (2016). “The interplay between Facebook use, social comparison, envy, and depression.” Current Opinion in Psychology Vol. 9, hlm. 44-49.
Ohrnberger, J., Fichera, E., Sutton, M. (2017). “The relationship between physical and mental health: A mediation analysis.” Social Science & Medicine Vol. 15, hlm. 42-49.
Penulis: Andi Hanifah Oktariani
I agree with you. Thank you for the wonderful insights!
I agree with you. Thank you for the wonderful insights!!
hi ifah! makasih udah berbagi yaa. aku juga pernah dan lagi ada di masa terisolasi karena pandemi ini nih dan honestly tulisan kamu cukup berpengaruh untuk menyadarkan pentingnya menghindari pikiran pikiran negatif yang rentan banget terjadi di saat kaya ini. keep spreading positive vibes ya fah, semangat!❤️
terimakasih andi hanifah sudah kembali mengingatkan kita semua untuk tetap memprioritaskan kebahagiaan dan kesehatan di kondisi seperti ini.
wahh setuju banget sama tulisannya!! terima kasih andi hanifah sudah berbagi dan mengingatkan!! semangat!!
Terimakasih andi hanifah sudah kembali mengingatkan kita semua untuk tetap memprioritaskan kebahagiaan dan kesehatan di kondisi seperti ini. Semangat terus untuk kita semua!
setuju banget! terima kasih telah berbagi dan mengingatkan aku untuk menaruh fokus kepada apa yang sudah kumiliki dan tidak menjadikan apa yang orang lain miliki sebagai sebuah target karena yang terpenting pada akhirnya adalah kebahagiaan serta kesehatan kita sendiri! ditunggu artikel selanjutnya yaaa!
Bener banget, kebahagiaan sama kesehatan penting banget untuk dijaga dalam kondisi kayak sekarang ini. Stay safe dan terus semangat!
Halo, penulis! Jujur, aku tersentuh dan merasa dapat memahami kondisi yang kamu deskripsikan. Membaca tulisan ini, aku semakin yakin bahwa aku tidak sendirian. Kutunggu tulisan seperti ini berikutnya, ya! Stay safe!
Hi, Ifah! Aku sependapat banget dengan kamu, terlebih lagi dalam hal bersyukur dan betapa tidak perlu-nya kita untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain karena untuk apa? We were born to different starting points and purposes, that’s why the only “valid” object that we could use as a comparison is nothing but our past self. Thank you for sharing your thoughts and keep spreading positive energy! Looking forward to your another writings.